Menerima Jasa Desain Rumah, Desain Interior, RAB, dan Lukisan Mininimalis. Jika Berminat HUB. 0852-5548-8091 --

------------------------------------------------------------------------------------


Menerima Jasa Pemasangan Iklan Usaha Di Blog Kami Jika Berminat Hub 085 255 488 091


Breaking News

Sabtu, 08 Juni 2013

Laporan Sejarah Peradanban islam (Mush'ab bin 'Umayr)



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Sejarah peradaban islam memiliki arti yang sangat penting dan tidak bisa kita abaikan begitu saja. Karena dengan sejarah kita bisa mengetahui apa yang telah terjadi pada zaman sebelum sekarang dan juga kita bisa mengerti bagaimana pemerintahan pada zaman nabi sampai pada khulafaur rasyidin. Kaum muslim mulai dipimpin oleh seorang khalifah semenjak wafatnya nabi untuk

B.    Rumusan Masalah
a.    Bagaimana Biografi Mush'ab bin 'Umayr ?
b.    Bagaimana Kehidupan Mush'ab bin 'Umayr ?
c.    Apakah Tugas Amanah Mush'ab bin 'Umayr yang deberikan Rasulullah SAW. ?
d.    Bagaimana Kisah Mush'ab bin 'Umayr ?

C.    Tujuan
a. Untuk Mengetahui Bagaimana Biografi Mush'ab bin 'Umayr.
b. Untuk Mengetahui Kehidupan Mush'ab bin 'Umayr.
c. Untuk Mengetahui Apa Tugas Amanah Mush'ab bin 'Umayr yang deberikan Rasulullah SAW.
d. Untuk Mengetahui Kisah Mush'ab bin 'Umayr.







BAB II
LANDASAN TEORI

As-Sabiqun al-Awwalun (Arab: السَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ) adalah orang-orang terdahulu yang pertama kali masuk/ memeluk Islam. Mereka adalah dari golongan kaum Muhajirin dan Anshar,[1] mereka semua sewaktu masuk Islam berada di kota Mekkah, sekitar tahun 610 Masehi pada abad ke-7.[2] Pada masa penyebaran Islam awal, para sahabat nabi di mana jumlahnya sangat sedikit dan golongan as-sabiqun al-awwalun yang rata-ratanya adalah orang miskin dan lemah.
Ada pemahaman bahwa kebudayaan yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah Kebudayaan Islam, dan bukan kebudayaan Arab.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Arab,). maka dalam hal ini ada dua cara pandang yang berbeda:
a.    Pertama, Kebudayaan Islam adalah semua hasil cipta dan karya yang dihasilkan dalam pemerintahan Islam, atau komunitas yang mayoritas muslim, dengan Islam sebagai agama individu, atau komunitas pencetusnya.
b.     Kedua, Kebudayaan Islami adalah suatu cipta dan karya yang bersumber dari dasar ajaran Islam, apa pun agama individu, atau komunitas pencetusnya meskipun berada dibawah pemerintahan non muslim.
Dalam hal ini Penulis lebih cenderung berpendapat bahwa Kebudayaan Islam adalah kebudayaan yang mutlak berasal dari ajaran Islam, dicetuskan dan dilakukan oleh umat Islam. Kebudayaan Islam secara khusus adalah sesuatu yang dihasilkan umat Islam baik dalam bentuk konkret maupun abstrak, yang secara prinsip bersumber pada ajaran Islam. Misalnya model baju penutup aurat, bersekolah, hidup bersih, dan sebagainya.
Dan Kebudayaan Islami adalah suatu cipta dan karya manusia baik muslim maupun non muslim yang berangkat dari sumber ajaran Islam. Misalnya membuat sapu, dan kebiasaan menyapu, walaupun dilakukan oleh orang non muslim, maka perbuatan dan kebiasaan itu disebut Kebudayaan Islami, karena bersumber dari ajaran Islam tentang kewajiban hidup bersih. Maka wajar saja kalau ada orang yang berkata bahwa dia telah melihat banyak kebudayaan islami di dunia Barat (baca; mayoritas non muslim), meskipun disana sangat jarang umat Islam, sebaliknya kebudayaan islami itu belum banyak teraplikasikan di dunia bagian Timur (baca; mayoritas muslim), meskipun banyak penduduknya beragama Islam.

BAB III
ISI LAPORAN

A.    Biografi Mush'ab bin 'Umayr
Mush'ab bin 'Umayr (Arab: مصعب بن عمير) adalah salah seorang sahabat nabi Nabi Muhammad. Mush'ab berhasil memasukan ajaran Islam kepada Usayd bin Hudhayr dan sahabat Usayd yang bernama Sa’ad bin Mu’adz.
Mus'ab bin Umair berasal dari keturunan bangsawan dari suku Quraisy. Ia adalah salah satu sahabat yang pertama dalam memeluk Islam setelah Nabi Muhammad saw diangkat sebagai Nabi dan menyebarkan agama Islam.
Mus'ab bin Umair diutus oleh Nabi Muhammad saw untuk menyebarkan dan mengajarkan agama Islam di Madinah, setelah orang-orang dari Madinah datang menyatakan keislamannya. Ia di Madinah hingga Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah. Mus'ab bin Umair mati syahid di Pertempuran Uhud.

B.    Kehidupan Mush'ab bin 'Umayr
Mushab bin Umair Mushab bin umair adalah seorang remaja quraisy terkemuka, seorang yang paling tampan, penuh dengan jiwa dan semangat kepemudaan. Para munarikh dan ahli riwayat melukiskan semangat kepemudaannya dengan kalimat “ Seorang warga kota Mekkah yang mempunyai nama yang paling harum “. 
Ia lahir dan dibesarkan dalam kesenangan dan tumbuh dalam lingkungan yang mungkin tak seorangpun diantara anak-anak muda Mekkah yang beruntung dimanjakan oleh kedua orang tuanya sedemikian rupa sebagai mana yang dialami oleh Mushab bin Umair. Mungkinkah kiranya anak muda yang serba berkecukupan, biasa hidup mewah dan manja, menjadi buah bibir gadis-gadis Mekkah dan menjadi bintang ditempat-tempat pertemuan akan meningkat sedemikian rupa hingga menjadi buah cerita tentang keimanan dan tamsil dalam semangat kepahlawanan. 
Awal perkenalan Mushab dengan islam dimulai saat ia mendengar berita yang telah tersebar luas dikalangan warga Mekka, mengenai Muhammad Al-Amin, berita– berita yang didengar oleh Mushab diantaranya ialah bahwaRassulullah bersama pengikutnya biasa mengadakan pertemuan disuatu tempat yang terhindar jauh dari gangguan gerombolan Quraisy yaitu di bukit Shafa di rumah Arqam bin Abil Arqam. Keraguannya tiada berjalan lama, hanya sebentar waktu ia menunggu , maka pada suatu senja didorong oleh kerinduannya pergilah ia kerumah Arqam. Baru saja, Mushab mengambil tempat untuk ia duduk , ayat-ayat Qur’an mulai mengalir dari kalbu Rasulullah, bergema melalui kedua bibirnya hingga sampai ketelinga dan meresap dihati para pendengar. 
Disenja itu Mushab pun terpesona oleh untaian kalimat Rasulullah yang tepat mennai sasaran pada kalbunya. Diangkat Sebagi Duta Islam Pertama Suatu saat Mushab dipilih Rasulullah untuk melakukan tugas yang sangat penting, ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah untuk mengajarkan seluk beluk agama kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan bai’at kepada Rasulullah di bukit Aqabah. Disamping itu Mushab juga mengajak orang-orang lain untuk menganut agama Allah. Sebenarnya dikalangan sahabat ketika itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah daripada Mushab. 
Tetapi Rasulullah menjatuhkan pilihannya kepada Mushab. Dan bukan tidak menyadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas yang teramat penting ke atas pundak pemuda itu. Mushab memikul amanat itu dengan bekal karunia Allah kepadanya berupa pikiran yang cerda dan budi yang luhur. Dengan sifat Zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati, ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam. Sesampainya di Madinah , didapatinya kaum Muslimin disana ternyata tidak lebih dari dua belas orang , yakni hanya orang-orang yang telah bai’at di bukit Aqabah. 
Tetapi tiada sampai beberapa bulan kemudian , meningkatlah orang-orang yang sama-sama memenuhi panggilan Allah dan RasulNya. Dengan tindakannya yang tepat dan bijaksan, Mushab bin Umair telah membuktikan bahwa pilihan Rasulullah atas dirinya itu, tepat. Ia memahami tugas dengan sepenuhnya , hingga tak berlanjut melampaui batas yang telah ditetapkan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah menyeru kepada Allah , menyampaikan berita gembira lahirnya suatu agama yang mengajak manusia untuk mencapai hidayah Allah, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus. Akhlaqnya mengikuti pola hidup rasulullah yang diimaninya , yang mengemban kewajiban hanya menyampaikan belaka.










C.   Tugas Amanah Mush'ab bin 'Umayr
Tugas Mush'ab bin 'Umayr Adalah sebagai Duta Islam yang pertama. Mush’ab dipilih Rasulullah untuk melakukan suatu tugas maha penting saat itu. Ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah untuk mengajarkan seluk beluk Agama kepada orang – orang Anshar yang telah beriman dan baiat kepada Rasulullah di bukti Aqabah. Disamping itu mengajak orang-orang lain untuk menganut agama Allah, serta mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut hijratul Rasul sebagai peristiwa besar.
Sebenarnya di kalangan sahabat ketika itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah daripada Mush’ab. Tetapi Rasulullah menjatuhkan pilihannya kepada “Mush’ab yang baik”.  Dan bukan tidak menyadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas amat penting ke atas pundak pemuda itu, dan menyerahkan kepadanya tanggung jawab nasib agama Islam di kota Madinah, suatu kota yang tak lama lagi akan menjadi kota tempatan atau kota hijrah, pusat dari dai dan dakwah, tempat berhimpunnya penyebar Agama dan pembela al-Islam.
Mush’ab memikul amanat itu dengan bekal karunia Allah kepadanya berupa fikiran yang cerdas dan budi yang luhur. Dengan sifat zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati, ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam. Sesampainya di Madinah, didapatinya Kaum Muslimin di sana tidak lebih dari dua belas orang, yakni hanya orang-orang yang telah baiat di bukit Aqabah. Tetapi tiada sampai beberapa bulan kemudian, meningkatlah orang yang sama-sama memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya.
Pada musim haji berikutnya dari perjanjian Aqabah, kaum muslimin Madinah mengirim perutusan yang mewakili mereka menemui Nabi. Dan perutusan itu dipimpin oleh guru mereka , oleh duta yang dikirim Nabi kepada mereka, yaitu Mush’ab bin Umair.
Dengan tindakannya yang tepat dan bijaksana, Mush’ab bin Umair telah membuktikan bahwa pilihan Rasulullah saw. atas dirinya itu tepat. Ia memahami tugas dengan sepenuhnya, hingga tak terlanjur melampaui batas yang telah ditetapkan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah menyeru kepada Allah, menyampaikan berita gembira lahirnya suatu Agama yang mengajak manusia mencapai hidayah Allah, membimbing mereka ke jalan yang lurus. Akhlaqnya mengikuti pola hidup Rasulullah yang diimaninya, yang mengemban kewajiban hanya menyampaikan belaka.

Di Madinah Mush’ab tinggal sebagai tamu di rumah As’ad bin Zararah. Dengan didampingi As’ad, ia pergi mengunjungi kabilah -kabilah, rumah-rumah dan tempat-tempat pertemuan, untuk membacakan ayat-ayat Kitab Suci Allah, menyampaikan kalimatullah “bahwa Allah Tuhan Maha Esa” secara hati-hati.
Pernah ia menghadapi beberapa peristiwa yang mengancam keselamatan diri serta sahabatnya, yang nyaris celaka kalau tidak karena kecerdasan akal dan kebesaran jiwanya. Suatu hari, ketika ia sedang memberikan petuah kepada orang-orang, tiga-tiba disergap Usaid bin Hudlair kepala suku kabilah Abdul Asyhal di Madinah. Usaid menodong Mush’ab dengan menyentakkan lembingnya. Bukan main marah dan murkanya Usaid, menyaksikan Mush’ab yang dianggap akan mengacau dan menyelewengkan anak buahnya dari agama mereka, serta mengemukakan Tuhan Yang Maha Esa yang belum pernah mereka kenal dan dengar sebelum itu. Padahal menurut anggapan Usaid, tuhan-tuhan mereka yang bersimpuh lena di tempatnya masing-masing mudah dihubungi secara kongkrit. Jika seseorang memerlukan salah satu diantaranya, tentulah ia akan mengetahui tempatnya dan segera pergi mengunjunginya untuk memaparkan kesulitan serta menyampaikan permohonan. Demikianlah yang tergambar dan terbayang dalam fikiran suku Abdul Asyhal. Tetapi Tuhannya Muhammad saw. – yang diserukan beribadah kepada-Nya  oleh utusan yang datang kepada mereka itu, tiadalah yang mengetahui tempat-Nya dan tak seorangpun yang dapat melihat-Nya.
Demi dilihat kedatangan Usaid bin Hudlair yang murka bagaikan api sedang berkobar kepada orang-orang Islam yang duduk bersama Mush’ab, mereka pun merasa kecut dan takut. Tetapi “Mush’ab yang baik” tetap tinggal tenang dengan air muka yang tidak berubah.
Bagaikan singa hendak menerkam, Usaid berdiri di depan Mush’ab dan Sa’ad bin Zararah, bentaknya: “Apa maksud kalian datang ke kampung kami ini, apakah hendak membodohi rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika tak ingin segera nyawa kalian melayang!”
Seperti tenang dan mantapnya samudera dalam, laksana terang dan damainya cahaya fajar, terpancarlah ketulusan hati ”Mush’ab yang baik”, dan bergeraklah lidahnya mengeluarkan ucapan halus, katanya “Kenapa anda tidak duduk dan mendengarkan dulu? Seandainya anda menyukai nanti, anda dapat menerimanya. Sebaliknya jika tidak, kami akan menghentikan apa yang tidak anda sukai itu!”. Sebenarnya Usaid seorang berakal dan berfikiran sehat. Dan sekarang ini ia diajak oleh Mush’ab untuk berbicara dan meminta pertimbangan kepada hati nurani sendiri. Yang dimintanya hanyalah agar ia bersedia mendengarkan dan bukan lainnya. Jika ia menyetujui, ia akan membiarkan Mush’ab, dan jika tidak, maka Mush’ab berjanji akan meninggalkan kampung dan masyrakat mereka untuk mencari tempat dan masyarakat lain, dengan tidak merugikan ataupun dirugikan orang lain.
“Sekarang saya insaf”, ujar Usaid, lalu menjatuhkan lembingnya ke tanah dan duduk mendengarkan. Demi Mush’ab membacakan ayat-ayat Al-Quran dan mengajarkan dakwah yang dibawa oleh Muhammad bin Abdullah saw, maka dada Usaid pun mulai terbuka dan bercahaya, beralun berirama mengikuti naik turunnya suara serta meresapi keindahannya. Dan belum lagi Mush’ab selesai dari uraiannya. Usaidpun berseru kepadanya dan kepada sahabatnya, ”Alangkah indah dan benarnya ucapan itu. Dan apakah yang harus dilakukan oleh orang yang hendak masuk Agama ini. Maka sebagai jawabannya gemuruhlah suara tahlil, serempak seakan hendak menggoncangkan bumi. Kemudian ujar Mush’ab, ”Hendaklah ia mensucikan diri, pakaian dan badannya, serta bersaksi bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah.
Beberapa lama Usaid meninggalkan mereka, kemudian kembali sambil memeras air dari rambutnya, lalu ia berdiri sambil menyatakan pengakuannya bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah. Secepatnya berita itu pun tersiar. Keislaman Usaid disusul oleh kehadiran Sa’ad bin Mu’adz. dan setelah mendengarkan uraian Mush’ab, Sa’ad merasa puas dan masuk Islam pula. Langkah ini disusul pula oleh Sa’ad bin Ubadah. Dan dengan keislaman mereka ini, berarti selesailah persoalan dengan berbagai suku yang ada di Madinah. Warga kota Madinah saling berdatangan dan tanya bertanya sesama mereka, “Jika Usain bin Hudlair, Saad bin ‘Ubadah dan Sa’ad bin Mu’adz telah masuk Islam, apalagi yang kita tunggu. Ayolah kita pergi kepada Mush’ab dan beriman bersamanya! Kata orang, kebenaran itu terpancar dari celah-celah giginya!”
Demikian duta Rasulullah yang pertama telah mencapai hasil gemilang yang tiada taranya, suatu keberhasilan yang memang wajar dan layak diperolehnya. Hari-hari dan tahun-tahun pun berlalu, dan Rasulullah bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah.
 Orang-orang Quraisy semakin geram dengan dendamnya, mereka menyiapkan tenaga untuk melanjutkan tindakan kekerasan terhadap hamba-hamba Allah yang shalih. Terjadilah perang Badar dan kaum Quraisypun beroleh pelajaran pahit yang menghabisakan sisa-sisa fikiran sehat mereka, hingga mereka berusaha untuk menebus kekalahan. Kemudian datanglah giliran perang Uhud, dan Kaum Muslimin pun berisap-siap mengatur barisan. Rasulullah berdiri di tengah barisan itu, menatap setiap wajah orang beriman menyelidiki siapa yang sebaiknya membawa bendera. Maka terpanggilah “Mush’ab yang baik”, dan pahlawan itu tampil sebagai pembawa bendera. Peperangan berkobar lalu berkecamuk dengan sengitnya. Pasukan panah melanggar tidak mentaati peraturan Rasulullah, merek meninggalkan kedudukannya di celah bukit setelah melihat orang-orang musyrik menderita kekalahan dan mengundurkan diri. Perbuatan mereka itu secepatnya merubah suasana, hingga kemenangan kaum muslimin beralih menjadi kekalahan.
Dengan tidak diduga pasukan berkuda Quraisy menyerbu Kaum Muslimin dari puncak bukit, atau tombak dan pedang pun berdentang bagaikan mengamuk, membatasi Kaum Muslimin yang tengah kacau balau. Melihat barisan Kaum Muslimin porak poranda, musuhpun menunjukkan serangan ke arah Rasulullah dengan maksud menghantamnya.
Mush’ab bi Umair menyadari suasana gawat ini, Maka diacungkannya bendera setinggi-tingginya dan bagaikan ngauman singa ia bertakbir sekeras-kerasnya, lalu maju ke muka, melompat, mengelak dan berputar lalu menerkam. Minatnya tertuju untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah saw. dengan demikian dirinya pribadi bagaikan membentuk barisan tentara. Sungguh, walaupun seorang diri, tetapi Mushab bertempur laksana pasukan tentara besar. Sebelah tangannya memegang bendera bagaikan tameng kesaktian, sedang yang sebelah lagi menebaskan pedang dengan matanya yang tajam. Tetapi musuh kian bertambah banyak juga, mereka hendak menyeberang yang menginjak tubuhnya untuk mencapai Rasulullah. Sekarang marilah kita perhatikan saksi mata, yang akan menceritakan saat-saat terakhir kapahlawanan besar Mush’ab bin Umar. Berkata Ibnu Sa’ad, “Diceritakan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad bin Syurahbil al-‘Abdari dari bapaknya, ia berkata :
“Mush’ab bin Umair adalah pembawa bendera di Perang Uhud. Tatkala barisan Kaum Muslimin pecah, Mush’ab bertahan pada kedudukannya. Datanglah seseorang musuh berkuda, Ibnu Qumaiah namanya, lalu menebas tangan-nya hingga putus, sementara Mush’ab mengucapkan “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul” Maka dipegangnya bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk melindunginya. Musuhpun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula. Mush’ab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraih ke dada sambil mengucapkan, “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”. Lalu orang berkuda itu menyerangnya ketiga kali dengan tombak, dan menusukkannya hingga tombak itupun patah. Mush’ab pun gugur, dan bendera jatuh”.
Gugurlah Mush’ab dan jatuhlah bendera. ia gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada. Dan hal itu dialaminya setelah dengan keberanian luar biasa mengarungi kancah pengorbanan dan keimanan. Disaat itu Mush’ab berpendapat bahwa sekiranya ia gugur, tentulah jalan para pembunuh akan terbuka lebar menuju Rasulullah tanpa ada pembela yang akan mempertahankannya. Demi cintanya yang tiada terbatas kepada Rasulullah tanpa ada pembela yang akan mempertahankannya. Demi cintanya yang tiada terbatas kepada Rasulullah dan cemas memikirkan nasibnya nanti, ketika ia akan pergi berlalu, setiap kali pedang jatuh menerbangkan sebelah tangannya, dihiburnya dirinya dengan ucapan, “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”. Kalimat yang kemudian dikukuhkan sebagai wahyu ini selalu diulang dan dibacanya sampai selesai, hingga akhirnya menjadi ayat Al-Quran yang selalu dibaca orang.

D.   Kisah Mush'ab bin 'Umayr
1.    Kisah  syahidina  Mush'ab bin 'Umayr
Perang Uhud adalah perang yang tidak akan pernah terlupakan dari benak kaum muslim. Perang Uhud telah menyisakan kesedihan tatkala kekalahan itu menewaskan begitu banyak sahabat Rasulullah saw. termasuk salah satunya adalah Mush’ab bin Umair.Peperangan berkobar, berkecamuk dengan sengitnya. Suasana semakin genting ketika kekuatan kafir Quraisy semakin menguat. Mush’ab menyadari suasana genting ini. Maka diacung-acungkan bendera rasulullah saw. setinggi-tingginya dan bagaikan auman singa ia bertakbir sekeras-kerasnya. Ia mengobrak-abrik semua yang dihadapinya. Pasukan Quraisy pun kocar kacir dibuatnya.Mush’ab tetap gagah di atas kudanya, sebagai seorang prajurit, tentara Allah akan melumat siapa saja yang dihadapinya. Baginya, dalam peperangan hanya ada dua hal: membunuh atau dibunuh. Tangannya memegang bendera Rasulullah bagaikan tameng kesaktian, sedangkan tangan sebelahnya lagi memegang pedang yang sangat tajam yang siap menebas leher-leher kekafiran.
2.    Kisah pilu syahidnya Mush’ab bin Umair
Mush’ab bin Umair adalah pembawa bendera di Perang Uhud. Tatkala barisan kaum muslimin terpecah, Mush’ab tetap bertahan pada kedudukannya. Tetap pada posisinya mengobrak abrik barisan lawan yang menuju ke arahnya. Tiba-tiba datanglah seorang musuh berkuda yang bernama Ibnu Qami’ah. Dari belakang dia melaju cepat dan seketika itu menebas tangan Mush’ab bin Umair hingga putus. Pedang tidak lagi di tangannya. Ketika hal itu terjadi, Mush’ab berkata “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa rasul.” Maka dipegangnya bendera dengan tangan kirinya sambil membungkukkan badan untuk melindungi bendera tersebut. Tetapi Ibnu Qami’ah lebih cepat. Sabetan pedangnya membuat tangan kiri Mush’ab juga terputus. Mush’ab membungkukkan badan dan menjepit bendera Rasulullah saw. dengan sisa-sisa tangan yang ada dalam tubuhnya. Bendera itu dijapit dan ditempelkan ke dada seraya berkata, “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa rasul.” Kemudian, denga bersusah payah dengan tangannya yang buntung, Mush’ab berusaha menghindari serangan Ibnu Qami’ah. Tetapi orang Quraisy ini lebih sigap dengan kesempurnaan fisik yang dimilikinya. Ketika Mush’ab membelakangi Ibnu Qami’ah, seketika itu juga Ibnu Qami’ah melemparkan tombak ke tubuh Mush’ab dari belakang sebanyak tiga kali. Kemudian serangan itu diakhiri dengan ditusukkannya sebuah tombak ke tubuh Mush’ab hingga tombak itu terputus. Mush’ab pun syahid seketika bermandikan darah keagungan. Inna lillahi wa inna ilaihi raajii’uun. Setelah pertempuran usai, ditemukanlah jasad Mush’ab bin Umair dengan wajah menelungkup ke tanah dan dikelilingi darah perjuangan. Rasulullah yang melihat jenazah syuhada Uhud itu kemudian menitikkan air mata. Salah seorang sahabat yang bernama Khabab bin Al Arrat berkata, “Kami hijrah di jalan Allah bersama Rasulullah saw. dengan mengharap keridhaan-Nya, hingga pastilh sudah pahala di sisi Allah. Di antara kami ada yang berlalu sebelum menikmati pahalanya di dunia ini sedikit pun juga. Di antaranya adalah Mush’ab bin Umair yang syahid di Perang Uhud. Tak sehelai pun kain untuk menutupinya selain sehelai burdah. Andai ditutupkan ke kepalanya, maka kakinya kelihatan, dan jika ditutupkan hingga ke kakinya, maka kepalanya kelihatan. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput idzkhir.
Dalam perjalanan pulang menuju Madinah, Rasulullah berpapasan dengan Hamnah binti Jahsy, istri Mush’ab. Rasulullah memberitakan syahidnya saudaranya di medan Uhud, kemudian Hamnah berkata, “Inna lillahi…” Tetapi ketika Rasululah memberitakan betapa tragisnya kematian suaminya, Hamnah pun akhirnya menjerit dan menangis. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya suami wanita itu mempunyai tempat tersendiri di hatinya.









BAB II
PENUTUP

Keteladanan Mushab bin Umair kepada Rasulullah SAW ketika Mush’ab bin ‘Umair di Madinah. Mush’ab datang dengan pakaian compang-camping, sebagian pakainnya dijahit dari kulit domba. Rasulullah SAW Menangis, lalu bersabda pada para sahabat, 
Lihat, itulah orang yang telah Allah SWT sinari hatinya. Dahulu aku pernah melihatnya  di tengah orangtuanya yang memberinya makanan yang lezat, minuman yang enak dan pakaian yang bagus. Namun kemudian, kecintaannya pada Allah dan Rasul-Nya membawanya kepada keadaan yang kalian lihat.
Hadis di atas diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab. Hadis tersebut menginformasikan pada kita akan keimanan Mush’ab bin ‘Umair.  Ketika Mush’ab bin ‘Umair masuk Islam, ia merupakan anak seorang keluarga yang kaya raya dan berasal dari kalangan elite. Sang ibu sangat sayang kepadanya sehingga dia selalu memberikan pakaian yang bagus dan indah. Pemuda yang tampan, tegap dan murah senyum itu tidak diterima ibunya lagi setelah sang ibu mengetahui keislamannya. 
.Ibunya pun pernah mogok makan dan hanya mau makan jika Mush’ab bin ‘Umair kembali ke agama semula. Namun, Mush’ab bin ‘Umair  bertahan dan tetap dalam keimanan dana keislaman sehingga akhirnya sang ibu pun berhenti juga dari mogok makannya. Mush’ab bin ‘Umair sangat mencintai ibunya, akan tetapi dia lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya. Mush’ab bin ‘Umair telah membuktikan akan kesetiaanya pada Islam.
Kemewahan yang ada pada Mush’ab bin ‘Umai sebelum keislamannya bukanlah segala-galanya bagi dirinya. Dia tinggalkan semua kemewahan duniawi untuk kemewahan hakiki. Mush’ab bin ‘Umair telah merasakan manisnya iman, sehingga dia tidak rela kembali kekufuran. 
Mush’ab bin ‘Umair  paham benar akan pesan Rasulullah SAW kepada umatnya. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan Rasulullah SAW seperti redaksi hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang bersumber dari  Anas bin Malik, “
Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman:  Dijadikannya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya. Jika ia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Dan dia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar ke neraka.”  
Mush’ab bin ‘Umair meninggalkan kekayaan duniawi menuju kekayaan yang sejati, yaitu kekayaan hati dengan keimanan dan keislamannya. Hal ini menunjukkan pula kepada kita akan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
, Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam “Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX”, Diterjemahkan Oleh H. Samson Rahman, Cetakan Kelima, Akbar, Jakarta, 2007
Amru Kholid, Inny Jailun Fil Ardhi Khalifah, Darul Ma’rifah, Beirut-Lebanon, 2006
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2008
Dr. Raghib Sarjani, Ushwatun Lil’alamin, Cetakan Kedua, Aqlam Lin-Nasyri Wat-Tauzi’ Wat-Tarjamah, Kairo, 2011
Imam Jalaluddin Ab-Durahman, Tarikh Khulafa, Darul Kita Ilmiah, Lebanon, 2008
Jalaluddin Rakhmat, The Road To Muhammad, Mizan, Bandung, 2009
Said Hawwa, Ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, Diterjemahkan Oleh Abdul Hayyie Al-Katani DKK, Gema Insani Press, 2003
Syamruddin Nst, Sejarah Peradaban Islam, Pusaka Riau, Pekanbaru
Tarikh Islam, Maktabah Syamilah



[1] Tarikh Islam, Maktabah Syamilah
[2] Syamruddin Nst, Sejarah Peradaban Islam, Pusaka Riau, Pekanbaru, Hal: 12-13
[3]Dr. Raghib Sarjani, Ushwatun Lil’alamin, Cetakan Kedua, Aqlam Lin-Nasyri Wat-Tauzi’    
     Wat-Tarjamah, Kairo, 2011, Hal: 17
[4] Ibid, Hal: 21
[5] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam “Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX”,    
     Diterjemahkan Oleh H. Samson Rahman, Cetakan Kelima, Akbar, Jakarta, 2007,  
[6] Jalaluddin Rakhmat, The Road To Muhammad, Mizan, Bandung, 2009, Hal: 79
[7] Ibid, Hal: 80
[8] Ibid, Hal: 90
[9] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2008, Hal: 64




Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Designed By VungTauZ.Com