BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah peradaban islam memiliki arti yang sangat
penting dan tidak bisa kita abaikan begitu saja. Karena dengan sejarah kita
bisa mengetahui apa yang telah terjadi pada zaman sebelum sekarang dan juga
kita bisa mengerti bagaimana pemerintahan pada zaman nabi sampai pada khulafaur
rasyidin. Kaum muslim mulai dipimpin oleh seorang khalifah semenjak wafatnya
nabi untuk
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Biografi Mush'ab bin 'Umayr ?
b. Bagaimana Kehidupan Mush'ab bin 'Umayr ?
c. Apakah Tugas Amanah Mush'ab
bin 'Umayr yang deberikan Rasulullah SAW. ?
d. Bagaimana Kisah Mush'ab bin 'Umayr ?
C. Tujuan
a. Untuk
Mengetahui Bagaimana Biografi
Mush'ab
bin 'Umayr.
b. Untuk Mengetahui Kehidupan Mush'ab bin 'Umayr.
c. Untuk Mengetahui Apa Tugas
Amanah Mush'ab bin 'Umayr yang deberikan Rasulullah SAW.
d. Untuk Mengetahui Kisah Mush'ab
bin 'Umayr.
BAB II
LANDASAN TEORI
As-Sabiqun
al-Awwalun (Arab:
السَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ) adalah orang-orang terdahulu yang pertama kali
masuk/ memeluk Islam.
Mereka adalah dari golongan kaum Muhajirin
dan Anshar,[1]
mereka semua sewaktu masuk Islam berada di kota Mekkah,
sekitar tahun 610
Masehi pada abad ke-7.[2]
Pada masa penyebaran Islam awal, para sahabat
nabi di mana jumlahnya sangat sedikit dan
golongan as-sabiqun al-awwalun yang rata-ratanya adalah orang miskin dan
lemah.
Ada pemahaman bahwa kebudayaan yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW adalah Kebudayaan Islam, dan bukan kebudayaan Arab.
a. Pertama, Kebudayaan Islam adalah semua hasil
cipta dan karya yang dihasilkan dalam pemerintahan Islam, atau komunitas yang
mayoritas muslim, dengan Islam sebagai agama individu, atau komunitas
pencetusnya.
b. Kedua,
Kebudayaan Islami adalah suatu cipta dan karya yang bersumber dari dasar ajaran
Islam, apa pun agama individu, atau komunitas pencetusnya meskipun berada
dibawah pemerintahan non muslim.
Dalam hal ini Penulis lebih cenderung
berpendapat bahwa Kebudayaan Islam adalah kebudayaan yang mutlak berasal dari
ajaran Islam, dicetuskan dan dilakukan oleh umat Islam. Kebudayaan Islam secara
khusus adalah sesuatu yang dihasilkan umat Islam baik dalam bentuk konkret
maupun abstrak, yang secara prinsip bersumber pada ajaran Islam. Misalnya model
baju penutup aurat, bersekolah, hidup bersih, dan sebagainya.
Dan Kebudayaan Islami adalah suatu cipta dan karya
manusia baik muslim maupun non muslim yang berangkat dari sumber ajaran Islam.
Misalnya membuat sapu, dan kebiasaan menyapu, walaupun dilakukan oleh orang non
muslim, maka perbuatan dan kebiasaan itu disebut Kebudayaan Islami, karena
bersumber dari ajaran Islam tentang kewajiban hidup bersih. Maka wajar saja
kalau ada orang yang berkata bahwa dia telah melihat banyak kebudayaan islami
di dunia Barat (baca; mayoritas non muslim), meskipun disana sangat jarang umat
Islam, sebaliknya kebudayaan islami itu belum banyak teraplikasikan di dunia
bagian Timur (baca; mayoritas muslim), meskipun banyak penduduknya beragama
Islam.
BAB III
ISI LAPORAN
Mush'ab bin 'Umayr (Arab: مصعب بن عمير) adalah salah seorang sahabat nabi Nabi Muhammad. Mush'ab berhasil memasukan ajaran Islam kepada Usayd bin
Hudhayr dan sahabat
Usayd yang bernama Sa’ad bin Mu’adz.
Mus'ab bin
Umair berasal dari keturunan bangsawan dari suku Quraisy. Ia adalah salah satu sahabat yang pertama dalam
memeluk Islam setelah Nabi Muhammad saw diangkat sebagai Nabi dan
menyebarkan agama Islam.
Mus'ab bin Umair diutus oleh Nabi Muhammad saw untuk
menyebarkan dan mengajarkan agama Islam di Madinah, setelah orang-orang dari Madinah datang menyatakan
keislamannya. Ia di Madinah hingga Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah. Mus'ab
bin Umair mati syahid di Pertempuran
Uhud.
B.
Kehidupan
Mush'ab
bin 'Umayr
Mushab bin Umair Mushab bin umair adalah seorang
remaja quraisy terkemuka, seorang yang paling tampan, penuh dengan jiwa dan
semangat kepemudaan. Para munarikh dan ahli riwayat melukiskan semangat
kepemudaannya dengan kalimat “ Seorang warga kota Mekkah yang mempunyai nama
yang paling harum “.
Ia lahir dan dibesarkan dalam kesenangan dan tumbuh
dalam lingkungan yang mungkin tak seorangpun diantara anak-anak muda Mekkah
yang beruntung dimanjakan oleh kedua orang tuanya sedemikian rupa sebagai mana
yang dialami oleh Mushab bin Umair. Mungkinkah kiranya anak muda yang serba
berkecukupan, biasa hidup mewah dan manja, menjadi buah bibir gadis-gadis
Mekkah dan menjadi bintang ditempat-tempat pertemuan akan meningkat sedemikian
rupa hingga menjadi buah cerita tentang keimanan dan tamsil dalam semangat
kepahlawanan.
Awal perkenalan Mushab dengan islam dimulai saat ia
mendengar berita yang telah tersebar luas dikalangan warga Mekka, mengenai
Muhammad Al-Amin, berita– berita yang didengar oleh Mushab diantaranya ialah
bahwaRassulullah bersama pengikutnya biasa mengadakan pertemuan disuatu tempat
yang terhindar jauh dari gangguan gerombolan Quraisy yaitu di bukit Shafa di
rumah Arqam bin Abil Arqam. Keraguannya tiada berjalan lama, hanya sebentar
waktu ia menunggu , maka pada suatu senja didorong oleh kerinduannya pergilah
ia kerumah Arqam. Baru saja, Mushab mengambil tempat untuk ia duduk , ayat-ayat
Qur’an mulai mengalir dari kalbu Rasulullah, bergema melalui kedua bibirnya
hingga sampai ketelinga dan meresap dihati para pendengar.
Disenja itu Mushab pun terpesona oleh untaian kalimat
Rasulullah yang tepat mennai sasaran pada kalbunya. Diangkat Sebagi Duta Islam
Pertama Suatu saat Mushab dipilih Rasulullah untuk melakukan tugas yang sangat
penting, ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah untuk mengajarkan seluk
beluk agama kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan bai’at kepada
Rasulullah di bukit Aqabah. Disamping itu Mushab juga mengajak orang-orang lain
untuk menganut agama Allah. Sebenarnya dikalangan sahabat ketika itu masih
banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh dan lebih dekat hubungan
kekeluargaannya dengan Rasulullah daripada Mushab.
Tetapi Rasulullah menjatuhkan pilihannya kepada
Mushab. Dan bukan tidak menyadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan
tugas yang teramat penting ke atas pundak pemuda itu. Mushab memikul amanat itu
dengan bekal karunia Allah kepadanya berupa pikiran yang cerda dan budi yang
luhur. Dengan sifat Zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati, ia berhasil
melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk
Islam. Sesampainya di Madinah , didapatinya kaum Muslimin disana ternyata tidak
lebih dari dua belas orang , yakni hanya orang-orang yang telah bai’at di bukit
Aqabah.
Tetapi tiada sampai beberapa bulan kemudian ,
meningkatlah orang-orang yang sama-sama memenuhi panggilan Allah dan RasulNya.
Dengan tindakannya yang tepat dan bijaksan, Mushab bin Umair telah membuktikan
bahwa pilihan Rasulullah atas dirinya itu, tepat. Ia memahami tugas dengan
sepenuhnya , hingga tak berlanjut melampaui batas yang telah ditetapkan. Ia
sadar bahwa tugasnya adalah menyeru kepada Allah , menyampaikan berita gembira
lahirnya suatu agama yang mengajak manusia untuk mencapai hidayah Allah, serta
membimbing mereka ke jalan yang lurus. Akhlaqnya mengikuti pola hidup
rasulullah yang diimaninya , yang mengemban kewajiban hanya menyampaikan
belaka.
C.
Tugas
Amanah Mush'ab
bin 'Umayr
Tugas Mush'ab bin 'Umayr Adalah
sebagai Duta Islam yang pertama. Mush’ab dipilih Rasulullah untuk melakukan suatu tugas
maha penting saat itu. Ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah untuk mengajarkan
seluk beluk Agama kepada orang – orang Anshar yang telah beriman dan baiat
kepada Rasulullah di bukti Aqabah. Disamping itu mengajak orang-orang lain
untuk menganut agama Allah, serta mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut
hijratul Rasul sebagai peristiwa besar.
Sebenarnya
di kalangan sahabat ketika itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh
dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah daripada Mush’ab.
Tetapi Rasulullah menjatuhkan pilihannya kepada “Mush’ab yang baik”. Dan
bukan tidak menyadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas amat
penting ke atas pundak pemuda itu, dan menyerahkan kepadanya tanggung jawab
nasib agama Islam di kota Madinah, suatu kota yang tak lama lagi akan menjadi
kota tempatan atau kota hijrah, pusat dari dai dan dakwah, tempat berhimpunnya
penyebar Agama dan pembela al-Islam.
Mush’ab
memikul amanat itu dengan bekal karunia Allah kepadanya berupa fikiran yang
cerdas dan budi yang luhur. Dengan sifat zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati,
ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka
berduyun-duyun masuk Islam. Sesampainya di Madinah, didapatinya Kaum Muslimin
di sana tidak lebih dari dua belas orang, yakni hanya orang-orang yang telah
baiat di bukit Aqabah. Tetapi tiada sampai beberapa bulan kemudian,
meningkatlah orang yang sama-sama memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya.
Pada
musim haji berikutnya dari perjanjian Aqabah, kaum muslimin Madinah mengirim
perutusan yang mewakili mereka menemui Nabi. Dan perutusan itu dipimpin oleh
guru mereka , oleh duta yang dikirim Nabi kepada mereka, yaitu Mush’ab bin
Umair.
Dengan
tindakannya yang tepat dan bijaksana, Mush’ab bin Umair telah membuktikan bahwa
pilihan Rasulullah saw. atas dirinya itu tepat. Ia memahami tugas dengan
sepenuhnya, hingga tak terlanjur melampaui batas yang telah ditetapkan. Ia
sadar bahwa tugasnya adalah menyeru kepada Allah, menyampaikan berita gembira
lahirnya suatu Agama yang mengajak manusia mencapai hidayah Allah, membimbing
mereka ke jalan yang lurus. Akhlaqnya mengikuti pola hidup Rasulullah yang
diimaninya, yang mengemban kewajiban hanya menyampaikan belaka.
Di
Madinah Mush’ab tinggal sebagai tamu di rumah As’ad bin Zararah. Dengan
didampingi As’ad, ia pergi mengunjungi kabilah -kabilah, rumah-rumah dan
tempat-tempat pertemuan, untuk membacakan ayat-ayat Kitab Suci Allah,
menyampaikan kalimatullah “bahwa Allah Tuhan Maha Esa” secara hati-hati.
Pernah
ia menghadapi beberapa peristiwa yang mengancam keselamatan diri serta
sahabatnya, yang nyaris celaka kalau tidak karena kecerdasan akal dan kebesaran
jiwanya. Suatu hari, ketika ia sedang memberikan petuah kepada orang-orang,
tiga-tiba disergap Usaid bin Hudlair kepala suku kabilah Abdul Asyhal di
Madinah. Usaid menodong Mush’ab dengan menyentakkan lembingnya. Bukan main
marah dan murkanya Usaid, menyaksikan Mush’ab yang dianggap akan mengacau dan
menyelewengkan anak buahnya dari agama mereka, serta mengemukakan Tuhan Yang
Maha Esa yang belum pernah mereka kenal dan dengar sebelum itu. Padahal menurut
anggapan Usaid, tuhan-tuhan mereka yang bersimpuh lena di tempatnya
masing-masing mudah dihubungi secara kongkrit. Jika seseorang memerlukan salah
satu diantaranya, tentulah ia akan mengetahui tempatnya dan segera pergi
mengunjunginya untuk memaparkan kesulitan serta menyampaikan permohonan.
Demikianlah yang tergambar dan terbayang dalam fikiran suku Abdul Asyhal.
Tetapi Tuhannya Muhammad saw. – yang diserukan beribadah kepada-Nya oleh utusan yang datang kepada mereka itu,
tiadalah yang mengetahui tempat-Nya dan tak seorangpun yang dapat melihat-Nya.
Demi
dilihat kedatangan Usaid bin Hudlair yang murka bagaikan api sedang berkobar
kepada orang-orang Islam yang duduk bersama Mush’ab, mereka pun merasa kecut
dan takut. Tetapi “Mush’ab yang baik” tetap tinggal tenang dengan air muka yang
tidak berubah.
Bagaikan
singa hendak menerkam, Usaid berdiri di depan Mush’ab dan Sa’ad bin Zararah,
bentaknya: “Apa maksud kalian datang ke kampung kami ini, apakah hendak
membodohi rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika tak ingin
segera nyawa kalian melayang!”
Seperti
tenang dan mantapnya samudera dalam, laksana terang dan damainya cahaya fajar,
terpancarlah ketulusan hati ”Mush’ab yang baik”, dan bergeraklah lidahnya
mengeluarkan ucapan halus, katanya “Kenapa anda tidak duduk dan mendengarkan
dulu? Seandainya anda menyukai nanti, anda dapat menerimanya. Sebaliknya jika
tidak, kami akan menghentikan apa yang tidak anda sukai itu!”. Sebenarnya Usaid
seorang berakal dan berfikiran sehat. Dan sekarang ini ia diajak oleh Mush’ab
untuk berbicara dan meminta pertimbangan kepada hati nurani sendiri. Yang
dimintanya hanyalah agar ia bersedia mendengarkan dan bukan lainnya. Jika ia
menyetujui, ia akan membiarkan Mush’ab, dan jika tidak, maka Mush’ab berjanji
akan meninggalkan kampung dan masyrakat mereka untuk mencari tempat dan
masyarakat lain, dengan tidak merugikan ataupun dirugikan orang lain.
“Sekarang
saya insaf”, ujar Usaid, lalu menjatuhkan lembingnya ke tanah dan duduk
mendengarkan. Demi Mush’ab membacakan ayat-ayat Al-Quran dan mengajarkan dakwah
yang dibawa oleh Muhammad bin Abdullah saw, maka dada Usaid pun mulai terbuka
dan bercahaya, beralun berirama mengikuti naik turunnya suara serta meresapi
keindahannya. Dan belum lagi Mush’ab selesai dari uraiannya. Usaidpun berseru
kepadanya dan kepada sahabatnya, ”Alangkah indah dan benarnya ucapan itu. Dan
apakah yang harus dilakukan oleh orang yang hendak masuk Agama ini. Maka
sebagai jawabannya gemuruhlah suara tahlil, serempak seakan hendak
menggoncangkan bumi. Kemudian ujar Mush’ab, ”Hendaklah ia mensucikan diri,
pakaian dan badannya, serta bersaksi bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi
melainkan Allah.
Beberapa
lama Usaid meninggalkan mereka, kemudian kembali sambil memeras air dari
rambutnya, lalu ia berdiri sambil menyatakan pengakuannya bahwa tiada Tuhan
yang haq diibadahi melainkan Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah. Secepatnya
berita itu pun tersiar. Keislaman Usaid disusul oleh kehadiran Sa’ad bin
Mu’adz. dan setelah mendengarkan uraian Mush’ab, Sa’ad merasa puas dan masuk
Islam pula. Langkah ini disusul pula oleh Sa’ad bin Ubadah. Dan dengan
keislaman mereka ini, berarti selesailah persoalan dengan berbagai suku yang
ada di Madinah. Warga kota Madinah saling berdatangan dan tanya bertanya sesama
mereka, “Jika Usain bin Hudlair, Saad bin ‘Ubadah dan Sa’ad bin Mu’adz telah
masuk Islam, apalagi yang kita tunggu. Ayolah kita pergi kepada Mush’ab dan
beriman bersamanya! Kata orang, kebenaran itu terpancar dari celah-celah
giginya!”
Demikian
duta Rasulullah yang pertama telah mencapai hasil gemilang yang tiada taranya,
suatu keberhasilan yang memang wajar dan layak diperolehnya. Hari-hari dan
tahun-tahun pun berlalu, dan Rasulullah bersama para sahabatnya hijrah ke
Madinah.
Orang-orang Quraisy semakin geram dengan
dendamnya, mereka menyiapkan tenaga untuk melanjutkan tindakan kekerasan
terhadap hamba-hamba Allah yang shalih. Terjadilah perang Badar dan kaum
Quraisypun beroleh pelajaran pahit yang menghabisakan sisa-sisa fikiran sehat
mereka, hingga mereka berusaha untuk menebus kekalahan. Kemudian datanglah
giliran perang Uhud, dan Kaum Muslimin pun berisap-siap mengatur barisan.
Rasulullah berdiri di tengah barisan itu, menatap setiap wajah orang beriman
menyelidiki siapa yang sebaiknya membawa bendera. Maka terpanggilah “Mush’ab
yang baik”, dan pahlawan itu tampil sebagai pembawa bendera. Peperangan
berkobar lalu berkecamuk dengan sengitnya. Pasukan panah melanggar tidak
mentaati peraturan Rasulullah, merek meninggalkan kedudukannya di celah bukit
setelah melihat orang-orang musyrik menderita kekalahan dan mengundurkan diri.
Perbuatan mereka itu secepatnya merubah suasana, hingga kemenangan kaum
muslimin beralih menjadi kekalahan.
Dengan
tidak diduga pasukan berkuda Quraisy menyerbu Kaum Muslimin dari puncak bukit,
atau tombak dan pedang pun berdentang bagaikan mengamuk, membatasi Kaum
Muslimin yang tengah kacau balau. Melihat barisan Kaum Muslimin porak poranda,
musuhpun menunjukkan serangan ke arah Rasulullah dengan maksud menghantamnya.
Mush’ab bi Umair menyadari suasana
gawat ini, Maka diacungkannya bendera setinggi-tingginya dan bagaikan ngauman
singa ia bertakbir sekeras-kerasnya, lalu maju ke muka, melompat, mengelak dan
berputar lalu menerkam. Minatnya tertuju untuk menarik perhatian musuh
kepadanya dan melupakan Rasulullah saw. dengan demikian dirinya pribadi
bagaikan membentuk barisan tentara. Sungguh, walaupun seorang diri, tetapi
Mushab bertempur laksana pasukan tentara besar. Sebelah tangannya memegang
bendera bagaikan tameng kesaktian, sedang yang sebelah lagi menebaskan pedang
dengan matanya yang tajam. Tetapi musuh kian bertambah banyak juga, mereka
hendak menyeberang yang menginjak tubuhnya untuk mencapai Rasulullah. Sekarang
marilah kita perhatikan saksi mata, yang akan menceritakan saat-saat terakhir
kapahlawanan besar Mush’ab bin Umar. Berkata Ibnu Sa’ad, “Diceritakan kepada
kami oleh Ibrahim bin Muhammad bin Syurahbil al-‘Abdari dari bapaknya, ia
berkata :
“Mush’ab bin Umair adalah pembawa bendera di Perang Uhud. Tatkala
barisan Kaum Muslimin pecah, Mush’ab bertahan pada kedudukannya. Datanglah
seseorang musuh berkuda, Ibnu Qumaiah namanya, lalu menebas tangan-nya hingga
putus, sementara Mush’ab mengucapkan “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang
Rasul” Maka dipegangnya bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk
melindunginya. Musuhpun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula. Mush’ab
membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraih ke dada
sambil mengucapkan, “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya
telah didahului oleh beberapa Rasul”. Lalu orang berkuda itu menyerangnya
ketiga kali dengan tombak, dan menusukkannya hingga tombak itupun patah.
Mush’ab pun gugur, dan bendera jatuh”.
Gugurlah
Mush’ab dan jatuhlah bendera. ia gugur sebagai bintang dan mahkota para
syuhada. Dan hal itu dialaminya setelah dengan keberanian luar biasa mengarungi
kancah pengorbanan dan keimanan. Disaat itu Mush’ab berpendapat bahwa sekiranya
ia gugur, tentulah jalan para pembunuh akan terbuka lebar menuju Rasulullah
tanpa ada pembela yang akan mempertahankannya. Demi cintanya yang tiada
terbatas kepada Rasulullah tanpa ada pembela yang akan mempertahankannya. Demi
cintanya yang tiada terbatas kepada Rasulullah dan cemas memikirkan nasibnya
nanti, ketika ia akan pergi berlalu, setiap kali pedang jatuh menerbangkan
sebelah tangannya, dihiburnya dirinya dengan ucapan, “Muhammad itu tiada lain
hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”. Kalimat
yang kemudian dikukuhkan sebagai wahyu ini selalu diulang dan dibacanya sampai
selesai, hingga akhirnya menjadi ayat Al-Quran yang selalu dibaca orang.
D.
Kisah
Mush'ab
bin 'Umayr
1.
Kisah
syahidina Mush'ab bin 'Umayr
Perang Uhud adalah perang yang tidak akan pernah
terlupakan dari benak kaum muslim. Perang Uhud telah menyisakan kesedihan
tatkala kekalahan itu menewaskan begitu banyak sahabat Rasulullah saw. termasuk
salah satunya adalah Mush’ab bin Umair.Peperangan berkobar, berkecamuk dengan
sengitnya. Suasana semakin genting ketika kekuatan kafir Quraisy semakin
menguat. Mush’ab menyadari suasana genting ini. Maka diacung-acungkan bendera
rasulullah saw. setinggi-tingginya dan bagaikan auman singa ia bertakbir
sekeras-kerasnya. Ia mengobrak-abrik semua yang dihadapinya. Pasukan Quraisy
pun kocar kacir dibuatnya.Mush’ab tetap gagah di atas kudanya, sebagai seorang
prajurit, tentara Allah akan melumat siapa saja yang dihadapinya. Baginya,
dalam peperangan hanya ada dua hal: membunuh atau dibunuh. Tangannya memegang
bendera Rasulullah bagaikan tameng kesaktian, sedangkan tangan sebelahnya lagi
memegang pedang yang sangat tajam yang siap menebas leher-leher kekafiran.
2. Kisah pilu syahidnya Mush’ab bin Umair
Mush’ab bin Umair adalah pembawa bendera di Perang Uhud.
Tatkala barisan kaum muslimin terpecah, Mush’ab tetap bertahan pada
kedudukannya. Tetap pada posisinya mengobrak abrik barisan lawan yang menuju ke
arahnya. Tiba-tiba datanglah seorang musuh berkuda yang bernama Ibnu Qami’ah.
Dari belakang dia melaju cepat dan seketika itu menebas tangan Mush’ab bin
Umair hingga putus. Pedang tidak lagi di tangannya. Ketika hal itu terjadi,
Mush’ab berkata “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul yang sebelumnya
telah didahului oleh beberapa rasul.” Maka dipegangnya bendera dengan tangan
kirinya sambil membungkukkan badan untuk melindungi bendera tersebut. Tetapi
Ibnu Qami’ah lebih cepat. Sabetan pedangnya membuat tangan kiri Mush’ab juga
terputus. Mush’ab membungkukkan badan dan menjepit bendera Rasulullah saw.
dengan sisa-sisa tangan yang ada dalam tubuhnya. Bendera itu dijapit dan
ditempelkan ke dada seraya berkata, “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang
Rasul yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa rasul.” Kemudian, denga
bersusah payah dengan tangannya yang buntung, Mush’ab berusaha menghindari serangan
Ibnu Qami’ah. Tetapi orang Quraisy ini lebih sigap dengan kesempurnaan fisik
yang dimilikinya. Ketika Mush’ab membelakangi Ibnu Qami’ah, seketika itu juga
Ibnu Qami’ah melemparkan tombak ke tubuh Mush’ab dari belakang sebanyak tiga
kali. Kemudian serangan itu diakhiri dengan ditusukkannya sebuah tombak ke
tubuh Mush’ab hingga tombak itu terputus. Mush’ab pun syahid seketika
bermandikan darah keagungan. Inna lillahi wa inna ilaihi raajii’uun. Setelah
pertempuran usai, ditemukanlah jasad Mush’ab bin Umair dengan wajah menelungkup
ke tanah dan dikelilingi darah perjuangan. Rasulullah yang melihat jenazah
syuhada Uhud itu kemudian menitikkan air mata. Salah seorang sahabat yang
bernama Khabab bin Al Arrat berkata, “Kami hijrah di jalan Allah bersama Rasulullah
saw. dengan mengharap keridhaan-Nya, hingga pastilh sudah pahala di sisi Allah.
Di antara kami ada yang berlalu sebelum menikmati pahalanya di dunia ini
sedikit pun juga. Di antaranya adalah Mush’ab bin Umair yang syahid di Perang
Uhud. Tak sehelai pun kain untuk menutupinya selain sehelai burdah. Andai
ditutupkan ke kepalanya, maka kakinya kelihatan, dan jika ditutupkan hingga ke
kakinya, maka kepalanya kelihatan. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Tutupkanlah
ke bagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput idzkhir.
Dalam perjalanan pulang menuju Madinah, Rasulullah
berpapasan dengan Hamnah binti Jahsy, istri Mush’ab. Rasulullah memberitakan
syahidnya saudaranya di medan Uhud, kemudian Hamnah berkata, “Inna lillahi…”
Tetapi ketika Rasululah memberitakan betapa tragisnya kematian suaminya, Hamnah
pun akhirnya menjerit dan menangis. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya suami
wanita itu mempunyai tempat tersendiri di hatinya.
BAB II
PENUTUP
Keteladanan Mushab bin Umair kepada Rasulullah SAW ketika Mush’ab bin ‘Umair di
Madinah. Mush’ab datang dengan pakaian compang-camping, sebagian pakainnya
dijahit dari kulit domba. Rasulullah SAW Menangis, lalu bersabda pada para
sahabat,
“Lihat, itulah orang yang telah Allah SWT sinari hatinya.
Dahulu aku pernah melihatnya di tengah
orangtuanya yang memberinya makanan yang lezat, minuman yang enak dan pakaian
yang bagus. Namun kemudian, kecintaannya pada Allah dan Rasul-Nya membawanya
kepada keadaan yang kalian lihat.”
Hadis di atas diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab. Hadis tersebut
menginformasikan pada kita akan keimanan Mush’ab bin ‘Umair. Ketika
Mush’ab bin ‘Umair masuk Islam, ia merupakan anak seorang keluarga yang kaya
raya dan berasal dari kalangan elite. Sang ibu sangat sayang kepadanya sehingga
dia selalu memberikan pakaian yang bagus dan indah. Pemuda yang tampan, tegap
dan murah senyum itu tidak diterima ibunya lagi setelah sang ibu mengetahui
keislamannya.
.Ibunya pun pernah mogok makan dan hanya mau makan jika Mush’ab bin ‘Umair
kembali ke agama semula. Namun, Mush’ab bin ‘Umair bertahan dan tetap
dalam keimanan dana keislaman sehingga akhirnya sang ibu pun berhenti juga dari
mogok makannya. Mush’ab bin ‘Umair sangat mencintai ibunya, akan tetapi dia
lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya. Mush’ab bin ‘Umair telah membuktikan akan
kesetiaanya pada Islam.
Kemewahan yang ada pada Mush’ab bin ‘Umai sebelum keislamannya bukanlah
segala-galanya bagi dirinya. Dia tinggalkan semua kemewahan duniawi untuk
kemewahan hakiki. Mush’ab bin ‘Umair telah merasakan manisnya iman, sehingga
dia tidak rela kembali kekufuran.
Mush’ab bin ‘Umair paham benar akan pesan Rasulullah SAW kepada
umatnya. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan Rasulullah SAW seperti redaksi
hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Anas
bin Malik, “
Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia
akan mendapatkan manisnya iman: Dijadikannya Allah dan Rasul-Nya lebih
dicintainya dari selain keduanya. Jika ia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya
kecuali karena Allah. Dan dia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci
bila dilempar ke neraka.”
Mush’ab bin
‘Umair meninggalkan kekayaan duniawi menuju kekayaan yang sejati, yaitu
kekayaan hati dengan keimanan dan keislamannya. Hal ini menunjukkan pula kepada
kita akan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
, “Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan
banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’
adalah hati yang selalu merasa cukup.”
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Quran
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam “Sejak Zaman Nabi
Adam Hingga Abad XX”, Diterjemahkan Oleh H. Samson Rahman, Cetakan Kelima,
Akbar, Jakarta, 2007
Amru Kholid, Inny Jailun Fil Ardhi Khalifah,
Darul Ma’rifah, Beirut-Lebanon, 2006
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,
Pustaka Setia, Bandung, 2008
Dr. Raghib Sarjani, Ushwatun Lil’alamin, Cetakan
Kedua, Aqlam Lin-Nasyri Wat-Tauzi’ Wat-Tarjamah, Kairo, 2011
Imam Jalaluddin Ab-Durahman, Tarikh Khulafa,
Darul Kita Ilmiah, Lebanon, 2008
Jalaluddin Rakhmat, The Road To Muhammad,
Mizan, Bandung, 2009
Said Hawwa, Ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam,
Diterjemahkan Oleh Abdul Hayyie Al-Katani DKK, Gema Insani Press, 2003
Syamruddin Nst, Sejarah Peradaban Islam, Pusaka
Riau, Pekanbaru
Tarikh Islam, Maktabah Syamilah
[3]Dr. Raghib
Sarjani, Ushwatun Lil’alamin, Cetakan Kedua, Aqlam Lin-Nasyri Wat-Tauzi’
Wat-Tarjamah, Kairo, 2011, Hal: 17
[6] Jalaluddin Rakhmat, The Road To Muhammad,
Mizan, Bandung, 2009, Hal: 79